Riwayat dan Karamah Sultanul Aulia’ Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
(Kisah
para Aulia’ dan para Syeikh adalah sangat elok dibaca oleh khususnya
kepada murid-murid yang menjalani tariqah agar menjadi petunjuk dan
tauladan bagi mereka yang berada di jalan tariqah dan secara amnya
kepada muslimin dan muslimat kerana dalam hadits ada menyebutkan yang
bermaksud : “Mengingati para Wali menjadi sebab turunnya rahmat” )
Juga
suatu peringatan kepada golongan manusia yang suka menghina atau
mempersendakan para wali-wali Allah,maksud hadith Qudsi ”Allah
isytiharkan perang terhadap orang yang memusuhi para wali-Nya".
Nama
lengkap Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berikut nasab dari pihak ayah
adalah Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shahih Musa bin Janka Dawsat
(Janki Doasti) bin Abdullah bin Yahya Az-Zahid binMuahammad bin Dawud
bin Musa bin Abdullah binMusa Al-Juni bin Abdullah bin Al-Mahdi bin
Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra
semoga redha Allah dicurahkan kepada mereka semua. Jadi, silsilah nasab
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani bersambung kepada Nabi Muhammad Rasulullah
SAW dari puteri beliau yang bernama Sayyidah Fatimah Az-Zahra RA yang
bernama Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA.
Adapun silsilah dari
ibunya adalah Abdul Qadir bin fathimah binti Abdullah bin Abu Jamaluddin
bin Thahir bin Abdullah bin Kamaludin Isa bin Muhammad Al-Jawad bin Ali
Ar-Ridha bin Musa Al-Kadzim bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir
bin Ali Zainul Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib semoga redha
Allah dicurahkan kepada mereka semua. Sepanjang masa bayinya, dia tidak
pernah makan selama bulan puasa.”
Suatu ketika pada awal
Ramadhan, Cuaca mendung dan orang-orang tidak dapat melihat bulan baru,
Tidak tahu apakah bulan Ramadhan sesungguhnya telah dimulai atau belum,
mereka datang kepada Ummul Khair Fathimah, ibunda Syeikh Abdul Qadir,
dan menanyakan apakah si anak sudah makan hari itu? Kerana dia belum
makan, mereka menduga bahawa puasa telah dimulai.
Abdul Qadir Al-Jailani RA menceritakan,
“ketika
kecil, setiap hari aku selalu didatangi seorang malaikat dalam bentuk
pemuda tampan, Dia mula berjalan bersamaku dari rumah kemadrasah dan
membuat anak-anak lain didalam kelas memberiku tempat dibarisan pertama,
Dia tinggal bersamaku sepanjang hari dan kemudian membawaku pulang
kerumah, Dalam sehari, aku belajar lebih banyak daripada murid lain yang
belajar dalam satu minggu. Aku tidak tahu siapa dia (awalnya). Suatu
hari aku bertanya kepadanya, dan dia berkata, aku salah satu malaikat
Allah. “Dia mengirim dan memerintahku untuk bersamamu selama engkau
belajar”.
Beliau kembali menceritakan mengenai masa kanak-kanaknya, dia berkata,
“setiap
kali ingin pergi bermain dengan anak-anak lain, aku mendengar satu
suara berkata; Datanglah kepada-Ku sebagai gantinya, wahai orang yang
diberkati! Datanglah kepadaku.”
Dalam keadaan ketakutan, aku pergi
dan mencari ketenangan dibalik lengan ibuku. Sekarang, bahkan dalam
ketaatan penuh dan khalwat (pengasingan) yang panjang, aku tidak dapat
mendengar dengan jelas suara tersebut.”
Ketika Abdul Qadir Al-Jailani ditanya oleh seseorang, apa kuncinya yang membawa dirinya pada tingkatan spiritual yang tinggi?.
Beliau berkata, “kejujuran yang telah aku janjikan kepada ibuku”
Abdul
Qadir Al-Jailani menceritakannya sebagai berikut, “suatu hari, malam
‘Aidul Adha, aku pergi ke ladang kami untuk membantu menggarap tanah,
Semasa aku berjalan dibelakang lembu jantan, dia memalingkan kepalanya
dan memandangku seraya berkata, “engkau tidak diciptakan untuk
(pekerjaan) ini!”
Sungguh, aku sangat ketakutan dan berlari kerumah
dan memanjat ke atap rumah petak bertingkat. Ketika melihat ke luar,
tiba-tiba aku melihat para Jemaah haji sedang berkumpul (wuquf) di
padang Arafah,di Arabia,tepat di depanku.
Lalu aku segera pergi
menemui ibuku, yang waktu itu sudah menjadi janda, dan meminta
kepadanya, “kirimlah aku ke jalan kebenaran berilah aku izin untuk pergi
ke Baghdad untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bersama-sama orang bijak
dan orang-orang yang dekat kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Ibu bertanya kepadaku “apa alasan permintaanmu yang tiba-tiba tersebut?”
Aku
mengatakan kepadanya apa yang telah terjadi pada diriku. Beliau
menangis mendengar ceritaku, lalu mengeluarkan lapan puluh keping emas .
Semuanya adalah warisan ayahku. Dia menyisihkan (mengasingkan) empat
puluh untuk saudara lelakiku, Empat puluh keping lainnya di jahit
dibahagian ketiak mantel (baju/kot). Kemudian dia mengizinkan untuk
meninggalkan dirinya. Sebelum membiarkan aku pergi, beliau menasihatiku
bahwa aku harus berkata benar dan menjadi orang yang jujur apa pun yang
terjadi. Ibu melepas kepergianku dengan kata-kata, “mudah-mudahan Allah
SWT melindungi dan membimbingmu wahai anakku. Aku memisahkan diriku
sendiri dari orang yang paling mencintaiku kerana Allah. Aku tahu bahwa
aku tidak akan dapat melihatmu sampai hari pengadilan Terakhir tiba.”
Taubatnya seorang kepala perompak ditangan SAQJ:
Aku
bergabung dengan sebuah kafilah yang pergi ke Baghdad. Ketika kami
telah meninggalkan Kota Hamadan, sekelompok perompak jalanan, enam puluh
penunggang kuda yang gagah menyerang kami. Mereka mengambil segala
sesuatu yang dibawa kafilah tersebut, salah seorang diantara mereka
datang kepadaku dan bertanya, “Hai anak muda, harta apa yang engkau
miliki?” aku menceritakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh
keping emas. Dia bertanya, dibertanya dimana kau simpan? Aku mengatakan,
“dibawah lenganku”.
Dia tertawa dan meninggalkanku sendiri
(keseorangan). Penjahat lainnya datang dan menanyakan hal yang sama dan
aku pun mengatakan hal yang sebenarnya, dia juga meninggalkanku
sendirian (keseorangan), aku fikir mereka pasti hendak mengadukan hal
tersebut kepada pemimpinnya, dimana mereka sedang membahagikan hasil
rampasan, pemimpin mereka bertanya tentang barang berharga milikku. Aku
mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh keping emas yang
dijahit dimantelku (baju/kot) di bawah ketiak.
Dia (pemimpin
perompak) lalu mengambil mantelku (baju/kot) merobek (mengoyak)
dibahagian lengan, dan menemukan emas tersebut. Kemudian dia bertanya
kepadaku dalam ketakjuban “wangmu (hartamu) telah aman, apa yang
memaksamu untuk menceritakan kepada kami bahwa engkau memilikinya dan
memberitahukan tempat engkau menyembunyikannya?”
Aku menjawab, “aku harus mengatakan yang benar dalam apa keadaan sekalipun, sebagaimana yang telah aku janjikan kepada ibuku”.
Ketika
kepala (ketua) perompak mendengar hal itu, ia menitiskan air mata dan
berkata, “aku telah mengingkari janjiku kepada siapa yang telah
menciptakanku,aku mencuri dan membunuh. Apa yang akan terjadi padaku?.
Dan
perompak lain (anak-anak buahnya) memandangnya sambil berkata, “engkau
telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun dalam perbuatan dosa
ini, sekarang juga engkau tetap menjadi pemimpin kami dalam penyesalan”.
Keenam
puluh orang itu memegang tanganku dan menyatakan penyesalannya serta
keinginannya untuk mengubah jalan mereka, mereka merupakan orang pertama
yang memegang tanganku dan mendapatkan keampunan untuk dosa-dosa
mereka”.
Ketika Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani tiba di Baghdad,
beliau berusia lapan belas tahum. Tatkala dia mencapai pintu gerbang
kota, Nabi Khaidir A.S muncul dan menghalanginya untuk memasuki kota,
Nabi Khaidir berkata kepadanya bahwasanya hal itu ia lakukan atas
perintah Allah SWT agar ia tidak memasuki kota Baghdad hingga tujuh
tahun akan datang.
Al-Khaidir membawanya ke sebuah runtuhan di gurun pasir dan berkata, “Diamlah engkau disini dan jangan meninggalkan tempat ini.”
Syeikh
Abdul Qadir Al-Jailani tetap tinggal di sana selama tiga tahun. Setiap
tahun Al-Khaidir datang kepadanya dan berkata kepadanya dimana dirinya
harus tinggal.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani RA bercerita tentang masa tiga tahun yang dilaluinya.
SAQJ sewaktu didalam proses Mujahadah dan Riyadhah:
“selama
aku tinggal di gurun, di luar kota Baghdad, semua keindahan dunia telah
datang menggodaku. Allah SWT Wa Adzuma Sya’nuh telah memberikanku
kemenangan atasnya. Nafsuku mengunjungiku setiap hari dalam wujud dan
bentukku sendiri dan meminta untuk menjadi temannya. Ketika aku akan
menolaknya, ia hendak menyerangku, Allah SWT memberiku kemenangan dalam
perlawananku dan pada waktunya aku dapat menjadikannya tawananku dan
menahannya bersamaku selama tahun-tahun itu serta memaksanya untuk
tinggal di runtuhan padang pasir.
Satu tahun penuh aku telah
memakan rumput-rumputan (dedaunan) dan akar-akarnya yang kutemukan dan
aku tidak meminum air apa pun, tahun yang lain aku meminum air tetapi
tidak makan apa pun, tahun selanjutnya aku makan, tidak minum ataupun
tidur. Sepanjang waktu itu, aku hidup dalam runtuhan dari istana
raja-raja Kuno Parsi di Kurkh (kharkhi). Aku berjalan dengan kaki
telanjang (tanpa alas kaki) diatas duri padang pasir dan tidak merasakan
suatu apa pun.
Setiap kali aku melihat sebuah batu atau bukit
yang terjal (curam) atau juram aku memanjatnya, aku tidak memberikan
istirahat satu minit pun atau menyenangkan nafsuku kepada
keinginan-keinginan rendah badaniku (Jasmani). Pada akhir dari masa
tujuh tahun itu, aku mendengar satu suara pada suatu malam, “Hai Abdul
Qadir,engkau sekarang diizinkan memasuki Kota Baghdad!”
Aku tiba di
Baghdad dan melewatkan beberapa hari di sana. Segera aku tidak dapat
berada dalam keadaan yang hasutan,kejahatan,tipu daya telah menjadi
kebiasaan kota. Lalu untuk menyelamatkan diriku sendiri dari kejahatan
kota yang mengalami kemerosotan akhlak dan menyelamatkan keimananku, aku
meninggalkannya, hanya kitab suci Al-Quran yang kubawa bersamaku.
Ketika
tiba dipintu gerbang dalam perjalanan untuk berkhalwat (menyendiri) di
padang pasir , aku mendengar satu suara, “kemana engkau hendak pergi?”
kata suara itu, “kembalilah,engkau harus melayani orang-orang.”
“Apa
yang dapat kupedulikan tentang orang lain?” aku menyanggah
(menyangkal/menolak), “aku ingin menyelamatkan keimananku., “kembalilah
dan jangan pernah merasa bimbang terhadap keimananmu, “suara itu
melanjutkan (meneruskan) “tidak ada sesuatu pun yang akan
membahayakanmu”.
Aku sungguh tidak dapat melihat orang yang
berkata tersebut (itu), kemudian sesuatu terjadi kepadaku. Aku terputus
dari keadaan lahiriyyah lalu tenggelam dalam keadaan tafakur, sampai
hari berikutnya aku memusatkan fikiran pada sebuah harapan dan berdoa
kepada Allah Azza Wa Jalla agar Dia membukakan selubung untukku sehingga
aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Hari berikutnya, ketika
tengah berkeliling (bersiar-siar) di sebuah permukiman (penempatan)
bernama Mudzaffariyyah, seorang lelaki yang sebelumnya tidak pernah
kulihat membuka pintu rumahnya dan mempersilakan untuk aku masuk, “mari
Abdul Qadir!”.
Ketika aku sampai dipintunya, dia berkata “katakan
kepadaku, apa yang engkau harapkan dari Allah? Doa apa yang telah engkau
panjatkan kelmarin?”
Saat itu aku ketakutan, namun diliputi penuh
ketakjuban, aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menjawabnya,
lelaki itu memandang ke wajahku dan menghempaskan pintu dengan kasar
sehingga membuatkan debu yang berkumpul disekelilingku menutupi seluruh
tubuhku, aku berjalan pergi sambil bertanyakan apa yang telah kuminta
dari Allah SWT sehari sebelumnya.
Kemudian aku teringat, lalu aku
segera balik kembali untuk mengatakan kepada lelaki tersebut tetapi aku
tidak dapat menemukannya baik rumah ataupun dirinya. Aku sangat bimbang
ketika menyedari bahwa dia adalah seorang yang dekat kepada Allah
Ta’ala, sungguh akhirnya aku mengetahui beliau adalah Syeikh Hammad
Ad-Dabbas yang telah menjadi guruku”.
Pada suatu malam yang
dingin dan hujan gerimis, satu tangan yang tidak terlihat jelas membawa
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani ke tempat bermalam para sufi (zawiyah)
milik Syeikh Abdul Hammad bin Muslim Ad-Dabbas. Syeikh yang mengetahui
berkat Ilham Ilahiyah tentang kedatangan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
menutup pintu-pintu tempat menginap Shufiyah (zawiyah) dan memadamkan
lampu.
Ketika beliau duduk diambang pintu yang terkunci, beliau
tertidur, beliau berihtilam (mimpi basah) dimalam hari, lalu dia mandi
di sungai dan mengambil wudhuk, dia tertidur lagi dalam hal yang sama
terjadi sampai tujuh kali pada malam itu, maka beliau mandi dan
mengambil air wudhuk dalam sedingin ais.
Pada harinya, pintu
gerbang telah terbuka dan Abdul Qadir memasuki tempat penginapan sufi
(zawiyah), Syeikh Hammad Ad-Dabbas berdiri menyambutnya sambil
menitiskan air mata gembira, dia memeluknya dan berkata “Wahai putraku
Abdul Qadir!”, keberuntungan/keuntungan adalah milik kami hari ini,
tetapi esok hal itu akan menjadi milikmu. Jangan pernah (jangan
sekali-kali) meninggalkan Tareqat (jalan) ini.”
Syeikh Hammad
Ad-Dabbas menjadi guru pertama Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam ilmu
pengetahuan tentang kesufian dengan memegang tangannya dia mengucapkan
sumpah (bai’at) dan mengikuti jalan kaum sufi.
Syeikh
Abdul Qadir Al-Jailani RA menceritakan, “Aku banyak belajar dengan guru
di Baghdad tetapi setiap kali aku tidak dapat memahami sesuatu atau
menemukan secara kebetulan suatu rahsia yang ingin aku ketahui Syeikh
Hammad Ad-Dabbas menerangkan kepadaku, kadang-kadang aku meninggalkannya
untuk mencari pengetahuan dari Syeikh (guru) yang lain tentang tauhid,
hadis,fiqh dan ilmu-ilmu lainnya.
Setiap kali aku kembali, beliau
berkata kepadaku, “Dari mana saja engkau?” kita telah memiliki demikian
banyak makanan yang sangat bagus untuk tubuh ,fikiran dan jiwa kita,
sementara engkau telah pergi dan kami tidak dapat menahan sesuatu
untukmu!”
Pada waktu lain,beliau berkata, “demi Allah, kemana engkau
pergi? Adakah seseorang disekitar sini yang mengetahui lebih banyak
daripadamu?
Para darwisnya (para Sufi) akan mengusikku secara
terus menerus dan berkata, “engkau adalah seorang ahli hukum (ahli
fiqih), seorang ahli sastera, seorang ahli pengetahuan dan seorang Ulama
(alim Syariat), urusan apakah yang engkau miliki diantara kita? Mengapa
engkau tidak keluar dari sini?”
Syeikh (Hammad Ad-Dabbas)
memarahi mereka dan berkata “betapa memalukan kalian ini! Aku bersumpah
bahwa tidak ada seorang pun seperti dia diantara kalian, tidak ada
seorang pun diantara kalian yang akan naik di atas jari kakinya, jika
kalian berfikir aku kasar terhadapnya dan engkau meniruku, aku
melakukannya untuk membawanya kepada kesempurnaan dan mengujinya, aku
melihat dia dalam dunia spiritual yang keras seperti batu, besar seperti
gunung.”
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan contoh tauladan
terbesar dari kenyataan bahwa dalam Islam mencari ilmu pengetahuan
adalah kewajiban suci untuk semua orang lelaki dan perempuan dari ayunan
(buaian) hingga liang kubur. Dia menjadi orang bijak terbesar
dizamannya, dia menghafal Al-Quran Al-Karim dan mempelajari
penafsirannya (tafsir) dari Ali Abul Wafa Al-Qail,Abu Khaththab Mahfuzh
dan Abul Hasan Muhammad Al-Qadhi.
Menurut beberapa sumber,Abdul
Qadir Al-Jailani belajar dengan Qadhi Abu Sa’id Al-Mubarak bin
Muharrami, ulama terbesar pada zamannya di Baghdad. Meskipun telah
mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan tentang jalan mistik dari Syeikh
Hammad Ad-Dabbas dan memasuki jalan tasawuf melalui tangannya, namun
Syeikh Abdul Qadir Al-Qadir Al-Jailani telah diberi Khirqah (jubah
kesufian) sebagai simbol dari jubah Rasulullah SAW oleh Qadhi Abu sa’id.
Garis
silsilah ijazah spiritual dari Qadhi Abu Sa’id Al-Mubarak bin Ali
Al-Muharrami melalui Syeikh Abu Hasan Ali bin Muhammad Al-Qurasyi,dari
Abul Faraj Ath-Thursusi dari At-Tamimi dari Syeikh Abu Bakar Asy-Syibli
dari Abul Qasim Al-Junaid dari Sari As-Saqathi dari Ma’ruf Al-Khurkhi
dari Dawud Ath-Tha’iyah dari Habib Al-Jamiy dari Hasan Al-Bashri dari
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Imam Ali menerima Khirqah (jubah kesufian)
dari tangan mulia Nabi Muhammad SAW kekasih Allah,Tuhan semesta alam dan
beliau menerimanya dari malaikat utama Jibrail a.s yang menerimanya
dari kebenaran Tuhan Allah Azza Wa Jalla.
Seseorang bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani , Apakah yang dia terima dari Allah Ta’ala?
Beliau menjawab tingkah laku dan pengetahuan yang baik.
Qadhi
Abu Sa’id Al-Muharammi berkata, “sesungguhnya Abdul Qadir Al-Jailani
menerima Khirqah dari tanganku, tetapi aku juga menerima Khirqah dari
tangannya.”
Qadhi Abu Sa’id Al-Muharrami mengajar di sebuah madrasah
miliknya sendiri di Babul Azj di Baghdad,kemudian dia memberikan
madrasah tersebut kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang mulai
mengajar disana.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a telah berusia
lima puluh tahun lebih pada wakti itu. Kata-kata dan ucapannya
mempersonakan dan menakjubkan sehingga menggugah (membangkitkan) hati
orang-orang yang mendengarnya. Para murid dan jemaahnya semakin
berkembang pesat dalam jumlah yang banyak sehingga tidak ada tempat,
baik di dalam ataupun di sekitar madrasah tersebut untuk menampung para
pengikutnya.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a berkata mengenai
permulaan mengajarnya, “pada suatu pagi aku melihat Rasulullah SAW,
beliau bertanya kepadaku, mengapa engkau tidak berbicara? Aku berkata,
aku adalah orang Persia/parsi (beliau lahir di Parsi), bagaimana aku
dapat berbicara dengan Bahasa arab yang indah dari Baghdad?
“buka
mulutmu,” beliau berkata, dan kulakukan perintah beliau. Nabi Muhammad
SAW lantas meniup nafasnya ke mulutku tujuh kali lalu berkata,
“pergilah,tunjukilah umat manusia dan ajaklah mereka kepada jalan
Tuhanmu dengan bijak dan kata-kata indah.”
Aku menjalankan solat
zuhur,dan aku melihat ramai orang sedang menungguku berbicara. Ketika
melihat mereka aku menjadi gembira,namun lidahku seakan-akan terkunci.
Kemudian
aku melihat Imam Ali bin Abi Thalib yang diberkati. Dia mendatangiku
dan memintaku untuk membuka mulutku, kemudian meniupkan nafasnya sendiri
ke dalam mulutku sebanyak enam kali. Aku bertanya, “mengapa anda tidak
melakukannya sebanyak tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah SAW?
Sayyidina Ali r.a berkata, “kerana rasa hormatku kepada beliau Rasulullah SAW”. Kemudian Sayyidina Ali r.a pun menghilang.
Dari
mulutku yang terbuka, keluarlah kata-kata, “sesungguhnya fikiran adalah
juru-selam,menyelam jauh ke dalam lautan hati untuk menemukan mutiara
kebijaksanaan (hikmah), ketika dia membawanya ke pantai kemakhlukannya,
dia tumpah dalam bentuk kata-kata dari bibirnya dan dengan itu dia
membeli ketaatan tak ternilai di pasar-pasar ibadah Allah SWT.”
Kemudian
aku berkata, “dalam suatu malam, seperti salah satu dari malamku, jika
seseorang diantaramu hendak membunuh keinginan-keinginan
rendahnya,kematian akan terasa begitu manis sehingga engkau tidak akan
dapat merasakan sesuatu yang lain di dunia ini.”
Sejak saat itu,
walau dalam apa keadaan sekalipun bangun atau tidur ,aku tetap
mempertahankan tugasku mengajar. Banyak sekali pengetahuan tentang
keimanan dan agama dalam diriku, jika tidak berbicara dan menuangkannya
keluar, aku akan merasakan bahwa hal itu akan meneggelamkan diriku.
Ketika pertama kali mengajar, aku hanya mempunyai dua atau tiga orang
murid sahaja, ketika mereka mendengarku, jumlah mereka bertambah menjadi
tujuh puluh ribu orang.”
Madrasahnya, mahupun lingkungan/kawasan
disekitarnya tidak dapat menampung para pengikutnya, oleh sebab itu,
dicarilah tempat yang lebih luas. Orang kaya dan orang miskin di Baghdad
turut membantu dalam penambahan bangunan-bangunan yang baru. Mereka
yang kaya membantu dengan dana(wang), manakala yang miskin membantu
dengan tenaga (kerja) mereka, termasuklah kaum perempuan yang turut
membantu bekerja.
Kelak Syeikh Abdul Qadir
Al-Jailani,semoga Allah menyucikan jiwanya. Beliau merupakah seorang
Imam,ahli dalam masalah-masalah keagamaan,tauhid dan fiqh dan pemimpin
dari mazhab Syafi’I dan Hambali dalam Islam. Beliau adalah seorang yang
sangat bijaksana dan berpengetahuan luas,seluruh manusia mendapat
manfaat darinya. Doanya segera dikabulkan ,baik ketika berdoa untuk
kebaikkan dan berdoa untuk hukuman. Dia adalah seorang yang banyak
melakukan banyak keajaiban (karamah), manusia sempurna, yang selalu
sedar serta ingat kepada Allah Azza Wa Jalla, merenung (muraqabah)
,berfikir,menerima dan memberi pelajaran.
Dia mempunyai hati yang
lembut,sifat yang mulia dan wajah yang selalu tersenyum,dia orang yang
peka dan memiliki sikap yang sangat baik,berakhlak dalam tabiat serta
dermawan dalam memberi materi (wang) dan nasihat serta pengetahuan. Dia
mencintai orang-orang,tetapi secara khususnya terhadap orang-orang yang
beriman dan mengabdikan serta beribadah kepada Dzat Yang Maha Esa,
menolong kepada siapa yang beriman.
Dia tampan selalu berpakaian
rapi, pembicaraannya (kata-katanya) tidak berlebihan dan sia-sia.
Apabila berbicara, meskipun dia berbicara dengan cepat tetapi setiap
kata dan suku katanya yang keluar terdengar jelas. Beliau berbicara
dengan penuh keindahan dan dia berbicara kebenaran. Bicara tentang
kebenaran tanpa ragu-ragu kerana dia tidak peduli dirinya apakah dia
akan dipuji,dikritik atau dicaci.
Ketika Khalifah Al-Muqtafi
mengangkat Yahya bin Sa’id sebagai kadi (ketua hakim), Syeikh Abdul
Qadir Al-Jailani menuduhnya dihadapan orang ramai, dengan mengatakan
“anda telah mengangkat seorang tiran(orang yang zalim) yang paling buruk
sebagai hakim atas orang-orang yang beriman. Biarlah kita lihat
bagaimana anda akan menjawab untuk diri anda sendiri kelak ketika anda
dihadapkan kepada Hakim Maha Agung, Allah Azza Wa Jalla Tuhan alam
semesta.”
Mendengar hal ini, Khalifah tergoncang dan menitiskan air mata, lalu ia segera memecat sang hakim.
Penduduk
Kota Baghdad mengalami kemajuan dalam hal akhlak dan rohani dan tingkah
laku. Melalui pengaruhnya, kebanyakkan warga kota bertaubat dan
menyatakan penyesalan, mengikuti akhlak yang baik dan perintah-perintah
Islam. Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dicintai dan dihormati oleh setiap
orang, dan pengaruhnya tersebar kemana-mana. Orang-orang berbudi
mencintainya, sedangkan para tiran (orang yang zalim) dan orang jahat
takut kepadanya. Banyak orang termasuk para raja,menteri dan orang-orang
bijak datang kepadanya untuk menanyakan persoalan-persoalan dan mencari
penyelesaiannya, bahkan banyak orang Yahudi dan Nasrani menerima Islam
melaluinya.
Dalam pengajaran dan pelayanannya (khidmatnya) kepada
umat manusia, dia menggunakan sifat-sifat yang diwarisi oleh Yang Maha
Tinggi.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a berkata “seorang Syeikh
spiritual (Sufi) bukan seorang guru yang sebenarnya,kecuali kalau
dirinya memiliki/mempunyai dua belas sifat. Dua diantara sifat-sifat
tersebut adalah sifat-sifat Allah Yang Maha Tinggi,iaitu menyembunyikan
kesalahan manusia dan ciptaan yang lain,tidak hanya dari orang-orang
lain tetapi bahkan dari diri mereka sendiri,dan memiliki perasaan
terharu (kasihan) dan kemahuan memaafkan untuk dosa yang terburuk
sekalipun.
Dua sifat diwarisi oleh Nabi Muhammad SAW iaitu cinta
dan lemah lembut. Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a yang pertama dari
keempat khalifah, seorang Syeikh (guru) sejati,mewarisi
kebenaran,kejujuran,dan keikhlasan hati, juga ketaatan dan kemurahan
hati (kedermawanan). Dari Sayyidina Umar bin Khaththab r.a, iaitu
keadilan dan menekankan kebenaran serta mencegah kesalahan. Dari
Sayyidina Utsman bin Affan r.a iaitu, kerendahan hati dan bangun serta
berdoa ketika manusia lainnya dalam keadaan tertidur dan dari Sayyidina
Ali bin Abi Thalib r.a, iaitu pengetahuan dan keteguhan hati serta
keberanian (kependekaran).”
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a
sangat sayang kepada puluhan ribu pengikutnya sebagaimana seorang ayah
sayang kepada anaknya. Dia mengetahui nama dan memperhatikan
masalah-masalah duniawi juga keadaan spiritual mereka, dia membantu dan
menyelamatkan mereka dari bencana kemalangan, bahkan jika mereka berada
di tempat jauh sekalipun. Dia adalah seorang ayah bersama anak-anaknya
dan memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan dan keharuan (belas
kasihan). Kepada orang yang lebih tua darinya, dia seolah-olah menjadi
lebih tua daripada mereka dan memperlakukan mereka dengan hormat.
Dia
menjalinkan persahabatan dengan kalangan orang miskin dan lemah, serta
tidak pernah mencari teman diantara orang-orang terkenal dan berkuasa,
orang-orang seperti itu memperlakukannya seolah-olah raja dari segala
raja.
Salah seorang dari anak lelaki pembantunya menceritakan
bahwa ayahnya, Muhammad bin Al-Khaidir melayani Syeikh Abdul Qadir
Al-Jailani selama tiga belas tahun, dirinya tidak pernah melihat seekor
lalat hinggap pada dirinya dan tidak pula dia pernah melihat membuang
hingus (di khalayak ramai). Meskipun Tuan Syeikh memperlakukan kaum
lemah dan miskin dengan rasa hormat yang besar, pembantunya tidak pernah
melihatnya berdiri ketika para sultan (penguasa) datang mengnjunginya
dan tidak pula dia mengunjungi mereka atau dia tidak memakan makanan
mereka kecuali sekali, ketika seorang raja datang berkunjung kepadanya,
dia meninggalkan ruang jamuan dan datang kembali setelah raja dan pesta
jamuannya selesai, sehingga mereka akan menyambutnya dengan berdiri.
Ketika
dia menulis surat kepada khalifah, dia mengatakan bahwa Syeikh Abdul
Qadir Al-Jailani memerintahkan dia untuk melakukan ini atau itu dan
bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi khalifah untuk mentaatinya kerana
dia adalah pemimpin mereka. Apabila khalifah menerima surat seperti
itu,dia akan mencium surat itu sebelum dia membacanya dan berkata
“Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani benar,sesungguhnya dia mengatakan
kebenaran!”.
Abu Hasan, salah seorang hakim agung pada masa itu
menceritakan, “Aku mendengar Khalifah Al-Muqtafi berkata kepada
menterinya, Ibnu Hubaira, “syeikh Abdul Qadir Al-Jailani mentertawakanku
dan hal itu amat jelas bagi orang-orang di sekitarnya bahwa yang dia
maksudkan adalah aku. Dilaporkan kepadaku bahwa dia menunjukkan sebuah
pohon kurma dikebunnya dan berkata, “engkau lebih baik bekerja, jangan
bepergian (berjalan) terlalu jauh atau aku akan memenggal kepalamu!”.
Sekarang
kamu, wahai Ibnu Hubaira, pergi dan berbicaralah kepadanya seorang diri
dan katakan, “anda jangan mengejek dan mengancam kahlifah, anda harus
tahu bahwa kedudukan khalifah adalah suci dan harus dihormati”, sang
menteri Ibnu Hubaira pergi kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dan
melihatnya sedang berkumpul dengan kerumunan orang ramai. Dalam
perbicaraannya pada satu pokok, tiba-tiba dia menyatakan, “sesungguhnya
aku akan memenggal kepalanya juga”.
Sang menteri merasa bahwa
yang Syeikh maksudkan adalah dia dan merasa takut serta ngeri, dia pun
melarikan diri dan mengatakan apa yang terjadi kepada khalifah. Sang
khalifah menitiskan air mata dan berkata, “sungguh,Syeikh Abdul Qadir
Al-Jailani adalah orang yang hebat”, lalu dia pergi menemui Syeikh untuk
dirinya sendiri, Syeikh telah memberinya banyak nasihat dan khalifah
menangis dan terus menangis.
Meskipun sangat belas
kasihan dan memiliki peribadi dan sikap yang sangat baik,lemah lembut
dan mencintai,menepati janji,adil dan keras dalam pengadilannya, Syeikh
Abdul Qadir Al-Jailani r.a tidak pernah memperlihatkan kemarahan yang
ditujukan kepada dirinya, tetapi sesuatu tindakkan kesalahan dilakukan
terhadap keimanan dan agama, dia akan marah besar dan memberi hukuman
yang berat.
Syeikh Abu Najib As-Suhrawardi menceritakan, “pada
tahun 523 H, aku bersama Syeikh Hammad, guru Syeikh Abdul Qadir
Al-Jailani yang juga hadir, ketika itu Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
membuat pertanyaan keras, mendengar itu, Syeikh Hammad berkata
kepadanya, “wahai Abdul Qadir,engkau berbicara terlalu angkuh! Aku
khuatir Allah tidak redha kepadamu”.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
mletekkan tangannya di atas dada Syeikh Hammad lalu berkata, “lihat
telapak tanganku dengan mata hati” dan berkata lagi, “dan katakan
kepadaku apa yang tertulis diatasnya?”
Ketika Syeikh Hammad tidak
dapat mengatakannya, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani mengangkat tangan
dari dada Syeikh tersebut dan memperlihatkan tangan tersebut kepadanya,
diatasnya termaktub (tertulis) tulisan bercahaya, yakni “Dia menerima
tujuh puluh janji dari Allah SWT, bahwa dia tidak akan pernah
dikecewakan”.
Syeikh Hammad melihatnya, dia berkata, “tidak akan
pernah ada yang menjadi suatu keberatan pada orang yang diberkati dengan
janji Ilahiyah seperti itu, tidak ada seorang pun pernah dapat
berkeberatan kepadanya, Allah Ta’ala memberkati siapa sahaja yang
sesungguhnya Dia kehendaki diantara hamba-hambaNya.
Syeikh Abdul
Qadir Al-Jailani r.a biasa berkata, “tidak ada seorang pun diantara
pengikutku (muridku) akan mati sebelum mereka taubat penuh penyesalan.
Mereka semua akan mati sebagai hamba-hamba Allah yang beriman,
masing-masing diantara pengikutku yang akan menyelamatkan tujuh orang
saudaranya yang berdosa dari api neraka. Seandainya jauh di barat,alat
kelamin salah seorang dari pengikutku kerana kurang berhati-hati
tersingkap secara tiba-tiba, kami meskipun berada jauh di timur akan
menutupinya sebelum seseorang dapat melihat (sebagai suatu kiasan).
Aku
telah diberi sebuah kitab, iaitu sebuah kitab yang panjangnya sejauh
mata dapat melihatnya, berisi semua nama orang yang akan mengikutiku
hingga akhir zaman,dengan berkat Allah Ta’ala, kami akan menyelamatkan
semua diantara mereka, diberkati orang-orang yang melihatku, aku rindu
kepada orang-orang yang tidak akan melihatku.
Semua orang yang
mengikatkan diri mereka sendiri kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
senantiasa damai dan bergembira. Seseorang bertanya kepada Syeikh Abdul
Qadir Al-Jailani, “kamu tahu kedudukan para pengikut anda yang soleh dan
apa yang menanti mereka di akhirat? Akan tetapi bagaiman tentang mereka
yang buruk?,” beliau menjawab “orang-orang yang soleh sayang kepadaku
dan aku menyayanginya demi menyelamatkan mereka yang buruk.”
Seorang
wanita muda menjadi pengikut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang tinggal
di sri-lanka, pada suatu hari dia diserang di sebuah tempat yang sepi
oleh seorang lelaki yang hendak memperkosanya, dalam keadaan tidak
berdaya, dia berteriak (menjerit) ,“selamatkan aku, wahai Syeikhku Abdul
Qadir AL-Jailani!”
Saat itu Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a sedang
mengambil wudhuk di Baghdad, orang-orang melihat Syeikh tiba-tiba
berhenti kemudian dengan marah, dia mengambil terompahnya dan
melemparkannya ke atas, mereka tidak melihat terompah tersebut jatuh,
kerana terompah tersebut jatuh diatas kepala orang yang sedang menyerang
gadis muda itu di sri-lanka dan membunuhnya. Disebutkan bahwa terompah
tersebut tetap berada disana (sri-lanka), disimpan sebagai barang
peninggalan.
Syeikh Ath-Thustari menceritakan bahwa suatu hari
para pengikut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad mencarinya ke
mana-mana, tiba-tiba seseorang berkata kepada mereka bahwa dirinya telah
melihatnya (Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani) sedang berjalan menuju ke
sungai Tigris. Lalu, para pengikutnya berlarian menuju ke sana hendak
menyusulnya, ketika sampai di sungai tersebut, mereka melihat Syeikhnya
itu berada ditengah sungai sedang berjalan di atas air menuju ke arah
mereka, semua ikan menjulurkan kepalanya ke atas permukaan air dan
memberi salam.
Hal itu terjadi pada waktu solat zuhur, mereka melihat
di atas mereka selembar sejadah yang luas membentang di atas kepala
mereka, menutupi seluruh langit, sejadah tersebut berwarna hijau dan
dipermukaannya bersulamkan ayat-ayat dari emas dan perak.
Ertinya: Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhuatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
(surah yunus: 62)
Ertinya:
Para malaikat itu berkata, “apakah kamu merasa hairan tentang ketetapan
Allah? (itu adalah) Rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas
kamu, hai ahlul bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha
Pemurah.”
(surah Hud:73)
Sejadah tersebut terapung seperti
sejadah terbangnya Nabi Sulaiman a.s, dan turun ke bumi, orang-orang
merasa takjub,diam dan dengan tenang mereka berjalan menuju kepadanya.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berpakaian indah melangkah diatas sejadah
tersebut dan memimpin mereka melakukan solat diatasnya, ketika dia
mengangkat tangannya dan mengucapkan “Allahu Akbar”, seluruh seolah-olah
menggemakan suara yang sama, ketika dia berdoa, para malaikat dari
tujuh petala langit dalam paduan suara mengulang doanya. Ketika dia
mengucapkan, “segala puji syukur hanya bagi Allah semata”, sebuah cahaya
hijau keluar dari mulutnya, menyelimuti langit. Pada akhir solat
(setelah salam), Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a membuka kedua
tangannya dan berkata, “Ya Allah, Ya Tuhanku, demi leluhurku (keturunan)
Nabi Muhammad SAW, kekasih-Mu, dan demi orang-orang diantara ciptaan-Mu
yang takut dan mencintai-Mu. Jangan ambil sesuatu dari para pengikutku
kepada-Mu sampai mereka dimaafkan dari dosa-dosanya dan sampai keimanan
mereka sempurna.”
Pada saat itu, setiap orang mendengar dengungan
senandung dari para malaikat dan mengatakan, “Amin”, mereka juga
mengikuti para malaikat dengan mengucapkan “Amin”. Kemudian mereka
mendengar satu suara (hatif) dari dalam diri mereka kata-kata
“bergembiralah!” Aku telah menerima doa kalian.”
Rasulullah SAW bersabda,”seorang guru (Syeikh) yang sempurna adalah bagaikan seorang Nabi bagi kaumnya”
Sesungguhnya
Hadhrat Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah salah seorang diantara
para Syeikh yang sempurna tersebut yang telah membukakan orang-orang
kepada pintu gerbang kebahagiaan di dunia ini dan pintu gerbang syurga
di akhirat.
Setelah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a menguasai
nafsunya dan menjadi seorang yang sempurna dan hanya dengan di-ilhami
perintah Rasulullah SAW dia menjadi seorang Syeikh dan membangun/
menjalin hubungan dengan orang-orang. Dirinya sentiasa mengikut teladan
dari leluhurnya (keturunannya) Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Ketika
pengaruh ajaran Sayyid Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a tersebar ke
seluruh pelusuk dunia, banyak diantara murid-muridnya mendapat kedudukan
penting dan banyak pejabat (pegawai pemerintah) yang menjadi muridnya
sesuai kemampuan mereka, kualiti dunia dalam batin dan tingkatan
spiritual, dia memerintahkan banyak diantara murid-muridnya untuk
bertindak sebagai wakil-wakilnya.
Diantaranya ada yang dijadikan
sebagai guru spiritual dan yang lainnya sebagai hakim (qhadi), bahkan
diantara muridnya dia tetapkan sebagai gabenor dan para pemegang
kekuasaan dunia.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a telah memberikan
seluruh dirinya kepada Allah Azza Wa Jalla. Malam-malamnya berlalu
dengan sedikit atau bahkan tanpa tidur, dalam doa dan
perenungan(muraqabah) menyendiri. Dia menghabiskan hari-harinya sebagai
seorang pengikut sejati Nabi Muhammad SAW dalam pelayanan (berkhidmat)
kemanusiaan tiga kali dalam seminggu, dia selalu menyampaikan “pengajian
umum” kepada puluhan ribu manusia. Setiap hari diwaktu pagi dan petang
dia memberi pengajaran tafsir Al-Quran,hadis Nabi SAW, ilmu Tauhid,ilmu
Fiqh dan Tasawuf. Setelah solat zuhur, dia memberikan nasihat dan waktu
konsultasi kepada orang-orang, sama ada orang itu pengemis atau raja,
siapa saja yang datang akan dilayaninya.
Sebelum solat asar,
hujan ataupun cerah, dia pergi ke jalanan untuk membagikan (memberikan)
makanan (roti) kepada orang-orang miskin. Dalam seluruh hari-harinya
dibulan Ramadhan, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani hanya makan sekali
sehari, setelah solat maghrib,beliau tidak pernah makan sendirian.
Khadam (pembantu)nya akan berdiri dipintu menayakan orang-orang yang
lewat (melalui) jika mereka lapar agar mereka dapat ikut makan.
Syeikh
Abdul Qadir Al-Jailani r.a wafat pada hari sabtu tanggal 8 Rabi’uts
Tsani tahun 561H/1166M, pada usia 91 tahun. Makamnya yang berada di
Madrasah Babud Darajah di Kota Baghdad Iraq, yang telah menjadi tempat
penting dari kunjungan para penziarah kaum sufi dan semua muslim.
Ketika
menghidap penyakit yang menghantarkan kewafatannya itu, salah seorang
anak lelakinya iaitu Abdul Aziz melihat bahwa dia menderita sakit yang
luar biasa, meregang dan menggulingkan tubuh ditempat tidurnya.
“jangan mencemaskanku “Syeikh berkata kepada putranya, “aku berbalik dan berbalik lagi dalam pengetahuan Allah Azza Wa Jalla.”
Ketika
anak lelakinya yang lain, yakni Abdul Jabbar bertanya kepadanya tentang
rasa sakitnya, dia berkata, “semua tubuhku terasa sakit kecuali hatiku,
tidak ada rasa sakit disini kerana hati ini bersama Allah!”
Anak
lelakinya yang lain, iaitu Abdul Wahhab berkata kepadanya, “berilah aku
beberapa nasihat tentang apa yang harus dilakukan setelah engkau
meninggalkan dunia ini.”
Dia berkata, “takutlah kepada Allah dan
tiada sesuatu pun yang lain, berharaplah dari Allah dan percayakan
seluruh kebutuhanmu (keinginan/keperluan) kepada-Nya, tidak mengharap
dan menginginkan apa pun kecuali Dia, menyandarkan diri kepada Allah dan
tidak kepada sesuatu yang lain,bersatu dengan-Nya,bersatu dengan-Nya,
bersatu dengan-Nya.”
Sebelum meninggal dunia, Syeikh Abdul Qadir
Al-Jailani melihat sekeliling dan berkata kepada orang-orang yang hadir,
“telah datang dihadapanku selain kalian, Makhluk lain yang kalian tidak
melihatnya telah datang kepadaku. Persiapkan ruangan dan belaku sopan
santunlah kepada mereka! (yakni menghormati kehadiran para malaikat yang
tidak dapat dilihat) Aku adalah biji tanpa kulit, kalian melihatku
bersama kalian, sementara aku dengan seseorang yang lain, sebaiknya
kalian meninggalkanku sekarang.”
Kemudian dia berkata, “wahai
malaikat pencabut nyawa, aku tidak takut kepadamu,tidak juga kepada
sesuatu pun yang lain. Kecuali kepada-Nya Azza Wa Jalla yang telah
menemaniku dan bermurah hati kepadaku!”
Pada saat terakhir, dia
mengangkat tangan dan berkata, “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul-Nya. Kemuliaan hanya bagi Allah Yang Maha Agung, Yang Hidup
Abadi, kemuliaan hanya milikNya,Yang Maha Kuasa, Yang Menguasai
hamba-hamba-Nya dengan kematian.”
Kemudian dia mengeluarkan
seruan yang keras dan berkata, Allah,Allah,Allah! Dan rohnya yang mulia
serta diberkati meninggalkan jasadnya.
Semoga Redha Allah disampaikan untuknya.
Maka telah wafat kekasih Allah dengan penuh keindahan maknawi.
Tamat…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar